Sakura dan Senja di Taman Yeouido


Sumber Gambar
Senja teduh dibawah ranting-ranting sakura yang sedang bermekaran, sesekali dingin angin sisa musim yang lalu masih saja menghembus. Masih tetap menghantarkan dingin yang sama, tetapi kali ini dibawah ranting-ranting dan kelopak sakura ini aku tak lagi peduli pada dingin yang mencoba merangsek tulang-tulang tubuhku. Senja, sakura dan segelas kopi hangat memang kombinasi surgawi yang perlahan membekukan waktu, harapku seolah menghendaki agar waktu bergerak diam dalam situasi yang seperti ini, terus dan selamanya begini. Tegukan kopi yang mengalir dalam rongga-rongga tubuh menjalarkan hangat kemudian memecahkan kebekuan-kebekuan yang ditiupkan oleh angin ditaman ini. Beku yang mencair seiring dengan kembali mencairnya ingatanku pada janji yang pernah diikat ditaman serupa empat tahun yang lalu.

“Taman disini lebih indah ya, dan kamu masih saja sama, selalu suka melewatkan senja sendirian dibangku taman penuh dengan sakura…dan segelas kopi hangat, persis tepat seperti kamu yang dulu” ucapmu membuka perbicangan kita sore ini.

“Memang, tetapi tempat ini tetap tak seindah Cibodas kala itu” senyummu mengembang, sebentar melirik seusai kau dengar pungkasku. Senyum itu, pun masih sama seperti saat itu,salah satu senyum terindah yang pernah melintas dalam hidupku.

Bincang senja ini bukanlah bincang, lebih banyak senyap dibanding kata dan terlalu kaku untuk sebuah perjumpaan.

“Empat tahun berlalu, kamu masih seperti dulu Diana, seperti sakura-sakura ini…simpel, misterius sekaligus menawan” dan ternyata gombalanmu pun masih sama, persis seperti senyum yang juga tetap menawan itu. Pecah sunyi dan kembali lagi senyap menyapa.

“Dan kamu tetap saja perayu…” aku menangkas disela-sela kepulan asap dan aliran kopi yang  kuseruput pelan. Kusembunyikan kagumku, bersembunyi dibalik tatapan datar dan nanar memandang jajaran pohon sakura itu.

“Orang-orang Korea ini kenapa dengan begitu angkuhnya enggan untuk sekedar membalas senyum yang acapkali kulemparkan kepada mereka…? Aku bertanya ini kepadamu karena kupikir kamu pun sama, sudah menjadi dingin seperti mereka, apakah karena kamu bermigrasi ke negeri ini lantas membuat raut hangat mentari Bulan April dilembah Cibodas itu hilang dari ronamu…?” sial, sindiranmu ini kenapa harus kau timpali dengan senyum indah itu lagi…?.

“Kamu bertanya tentang sesuatu yang aku bahkan belom tahu apa jawabannya, sudahlah, kita sudah disini, nikmati saja senja ini hingga matahari itu benar-benar lenyap dibalik langit Seoul, jangan merusak senjaku” kalimatku hampir tanpa tekanan, tapi itu hardikan yang kulepas untuk memblokade pikat senyum manismu. Kutenggak lagi kopi hangat dari gelas dalam genggamanku, dan mendadak hangatnya tak lagi terasa.

“Tiga tahun aku mencarimu, menelisik setiap jejak pergimu, tak ada yang mau memberitahu dimana tempatmu…hingga satu bulan yang lalu aku bertemu dengan adik perempuanmu, beruntung dia iba dengan semua usahaku untuk menemukanmu, dia bilang kamu melanglang pergi ke negeri ini. Mengapa kamu pergi sejauh ini…?”

“Sederhana saja, aku ingin melihat sakura lebih sering, berada dibawah senja yang lembayung sembari melihat indahnya matahari saat terbenam di garis horizon Sungai Han Gang ini. Jangan berpikir dulu aku memutuskan pergi karena ingin menghindarimu atau menyembuhkan luka hati dari apa yang telah kauperbuat empat tahun yang lalu, kamu tak sehebat itu dalam hidupku”. Kalimatku pasti lebih pahit dari ampas kopi yang kita teguk sore itu, jika saja kopi itu memiliki residu. Tapi ini hebat, aku mampu mengucapkan ini dengan tegas tanpa sedikitpun ragu. Senyummu tak lantas meluruhkan keputusanku untuk melupakan semua tentangmu, kenangan akan dirimu dan senja bersama pohon-pohon sakura di Kebun Raya Cibodas.

“Yo', waktu telah berangsur dan beranjak dari masa dimana kita bersama empat tahun yang lalu, lihatlah sekelilingmu sekarang, ranting-ranting sakura memang nampak sama, bahkan senja yang merah ini sama sekali tak berbeda dari masa yang telah berlalu, tapi sekali lagi lihatlah, sekarang kita di Yeouido Yo’ bukan lagi di Cibodas. Jika kamu bertanya apa yang ada dihatiku saat ini, nyaris sama seperti senja dan sakura ini, nyaris sama tak lantas sama” Cahyo, namamu kusebut kembali setelah sekian lama aku enggan mengingatnya.

“Mengapa kamu begitu kaku dan dingin, kembali lagi aku tak mampu menebak apa yang kaurasakan terhadapku, entah kamu benci atau suka kepadaku, aku tak tahu…aku datang sejauh ini demi kamu, aku ingin memulainya kembali denganmu” kali ini kamu menunduk mengalihkan pandang pada gelas kopi yang pelanp-pelan kau ayunkan seraya berputar dipergelangan tanganmu.

“Apa yang kubilang nyaris sama tetapi tak lantas sama adalah cinta itu masih ada disana Yo', sama persis berada disudut hatiku, empat tahun aku tak pernah merubahnya, memindahkan ataupun mengganti dengan yang lain. Cinta yang kuabdikan kepadamu ibarat kelopak-kelopak sakura ini, putih nyaris tanpa cela, kemudian aku mengabadikannya di taman hatiku dan kuhidupkan seraya senja yang senantiasa lembayung merona. Tapi waktu dan keputusanmu telah merubah satu hal, memaksaku merubah taman hatiku yang tak lagi serupa Cibodas, sekarang taman itu bernama Yeouido dan Taman Yeouido bukanlah Cibodas.”

“Pulanglah, sakura ini akan tetap bermekaran setiap musim semi tiba dan senja di taman ini akan tetap indah meski aku harus melewatkannya tanpamu. Aku memutuskan pergi karena aku dulu memutuskan untuk berbahagia setelah runcah hatiku dibuat olehmu. Aku berbahagia telah menemukan tempat indah di tepian Han Gang ini, dan meski kamu tetap menjadi cinta dalam taman hatiku tetapi maaf, aku tak bisa memulainya lagi bersamamu atau lebih tepatnya aku tak mampu”. Teguk terakhir kopi ini sudah tak menyisakan hangat, kugengam tetap gelasnya dalam cengkeramku, hanya untuk meyakinkan bahwa aku kuat mengatakan hal ini.

Kamu masih saja nanar menatap tepian sungai, sesekali menghela nafas dan melampiaskan pandang pada beberapa kelopak sakura yang berjatuhan di kaki kita. “Senja sudah berakhir Yo’, mari pulang makan malam sudah menunggu dirumah” aku beranjak dan kuayunkan kepalaku menyamping bersama senyum yang kulemparkan kepadamu. Senyum diakhir senja nan merah dibawah langit Seoul yang cerah.

Matahari di Semesta yang Lain

Sumber Gambar

Kelak saat aku menua, saat kulit mulai keriput dan semua sendi di tubuh ini mulai guncang serta kaku, kiranya apa yang akan terjadi padaku dan kamu, akankah tetap sendiri dan sepi  sebagaimana supernova menjelang mati. Sendiri lalu menua bukan masalah berarti, toh kodrat sejati manusia itu adalah sendiri, terlahir dengan jiwa yang sendiri dan kelak mati juga sendiri. Tetapi aku sepertinya bukan manusia, aku adalah bintang  muda dalam tatasurya entah berantah yang berpendar menuju mati, lalu kemudian menjadi lubang hitam yang menyeimbangkan pemuaian massa semesta.

Sebenarnya bukan tentang sendiri itu yang kutakuti, adalah sepi yang membuatku senantiasa merasa rapuh. Masih jelas dalam ingatku, kita berdua pernah berjanji untuk menua bersama, sampai mati. Kamu dan aku pernah setuju diantara jeda jumpa dan perpisahan ini mengapa tak kita lewati bersama, usir sepi dan enyahkan kerapuhan dalam diri kita. Aku dan kamu, menguatkan, kita bersama akan taklukan dunia dengan cinta yang senantiasa ada. Persis sama, aku dan kamu adalah dua bintang utama dalam sistem tata surya yang senantiasa setia beredar mengikuti ritme makro-kosmos jagat raya.

Masa itu telah berlalu, kita pernah begitu yakin akan menua bersama, bahkan kita begitu percaya meski perutmu nanti membuncit tetap kamulah satu-satunya mahkluk terseksi didepan mataku. Dan sama, meski rambutku mulai rontok, galur-galur dibawah mataku semakin kentara, bagimu akulah satu-satunya lelaki tertampan dimuka bumi. Kita berdua bersama tak lagi takut untuk menua, jika pada akhirnya kita meniada, mengapa tak lantas kita lewatkan sekali kesempatan ini untuk berbahagia.

Aku telah lama berbahagia dalam garis edar hidupku, terlebih lagi saat kita berjumpa, kamulah jiwa yang kupilih untuk melengkapi bahagia dalam tata suryaku, melewatkan waktu berlimpah cumbu dan tumpahan bejana rindu. Kau bilang akan senantiasa memelukku saat dingin menyergap malam, menggenggamku dan memberikan teduh saat panas dunia berpendar dengan kuatnya. Sebelum bertemu denganmu aku mampu menaklukkan ganas matahari bumi, tetapi denganmu kurasa bahkan Pluto-pun  sanggup kurengkuh. Kamu menguatkan aku, aku menguatkanmu, semesta akan kita taklukan sembari berdua kita menua. Dulu aku berpikir begitu, gila memang, dua bintang dalam satu tata surya yang sama, tapi tak berarti tidak mungkin bukan?.

Lalu apa kabarmu saat ini, masihkan dirimu menjadi yang terseksi dimataku, aku bahkan sepertinya tak akan pernah tahu tentang hal itu karena aku telah berjanji untuk berlalu dari hidupmu. Aku memang yang bersalah, melanggar janji menua ini terlebih dulu. Kukatakan waktu itu, aku mati terlebih dahulu tanpa harus melewati tua bersamamu. Itu pilihanku, mencintaimu tanpa ragu tetapi tak lantas membuatku harus bertahan menunggu tua dalam bayangan kebahagiaanmu. Sekali lagi aku katakan, hakikat jiwa adalah sendiri, bukan masalah bagiku jika aku harus kembali pada pelukan sepi seperti dulu, jangan khawatirkan bagaimana dengan hidupku, aku akan dan pasti berbahagia menjalani hidup baruku sebagai ranah bintang tanpa cahaya, itulah janjiku sebelum aku hengkang dari hidupmu, hengkang dari tata suryamu. Jarang memang sebuah bintang melintas pergi dari susunan silindris system solar yang senantiasa berotasi secara harmonis, tetapi tak berarti tidak mungkin bukan?.

Aku kemudian mati, pecah secara fisi tanpa sisa dan menjalani hidup baru sebagai lubang hitam. Berbahagialah kamu dengan hidupmu dalam tata surya baru, aku tak melihatmu ataupun mampu bersua denganmu, tapi itu tak lantas berarti aku berhenti menaruh kamu dalam semesta jiwaku, aku melihatmu secara kasat dan percaya sajalah bahwasanya kita akan tetap menua bersama meski akhirnya kita harus masing-masing berpendar dalam galaksi yang berbeda.

Sampai jumpa matahariku, bukan disemesta ini kita bersama, barangkali Sang Penguasa Jagad Raya akan berbaik hati mempertemukan lagi kita nanti, dikehidupan yang lain, seperti dua bintang dalam konstelasi Kabut Magellan.


*tribute to "Saat Aku Lanjut Usia" - Sheila on 7*

Armageddon

Sumber Gambar
Pernah kukatakan kepadamu, saat kamu bertanya box office apa yang menjadi favoritku hingga saat ini, saat kita melewatkan waktu bersama. Armageddon, aku selalu yakin sampe kapanpun filem tersebut akan senantiasa bermain diranah imajinasiku, melibatkan aku dan kamu. Ceritanya sendiri tak terlalu penting buatku karena aku bukan astronot dan kamu juga bukan anak semata wayang penambang minyak. Tetapi, seperti yang pernah aku bilang kepadamu, setiap moments romansa hampir sama dengan kita, disetiap detail kebersamaan A.J. Frost dan Grace Stamper adalah kehidupan kita di dimensi yang lain, aku yakin itu dan kamu selalu saja tersenyum setiap kali mendengar bualan konyolku ini.


Grace, setiap lagu dalam film tersebut senantiasa mengalun setiap kali kamu melintas dipikiranku, hampir setiap waktu karena aku selalu saja tak pernah bisa beranjak dari pandangmu. Malam ini I don’t want to miss a thing-nya Aerosmith mengalun indah, meski semua tahu ada kepedihan dalam bait-bait syairnya, aku tahu tetapi senyum itu tak pernah hilang dari wajahmu. Aku senang dan aku lupa untuk bersedih,  ini malam terindah untuk dilewatkan bersama, bersamamu Grace Stamper-ku. Aku tahu, sekali lagi aku berlebihan, ini bukan kali pertama kita bersama melewatkan waktu, tapi entah mengapa setiap waktu bersamamu rasa senangku senantiasa baru, seolah-olah kita baru saja bertemu selepas lama menangguhkan rindu atau ini kali pertama kita bertemu.

I could stay awake just to hear you breathing
Watch you smile while you are sleeping
While you're far away and dreaming
I could spend my life in this sweet surrender
I could stay lost in this moment forever
Where every moment spent with you is a moment I treasure


Tidurlah Grace, besok hari yang penting bagimu, kamu tentu tak akan melewatkannya bukan?, aku akan menjagamu sekali lagi malam ini. Terjaga lebih tepatnya, aku ingin terus menatapmu meski hingga pagi, dan aku mau because I don’t wanna miss a thing from you. Tiba-tiba aku benci, mengapa situasi memaksaku harus menjadi A.J. Frost-mu.

-0 BREAKDAWN 0-
Sumber Gambar
Grace, pagi sudah merekah, riuh burung diranting kersen depan rumah terasa lebih berisik dari bunyi klakson taksi dalam Leaving on The Jet Plane-nya Chantal Kreviazuk.

All my bags are packed I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye
But the dawn is breakin' it's early morn
The taxi's waitin' he's blowin' his horn
Already I'm so lonesome I could die


Sial, benar kata Chantal, saat ini I feel so desperately lonesome even though I still here, with you.

Aku kelu, tak mampu menyuarakan perpisahan, sebagai A.J. Frost seharusnya aku lebih tegar dari ini, tapi aku ini Wisnu kekasihmu yang terpaksa menjadi A.J. Saat ini bukan tak mampu, tapi aku tak mau, sampai kapanpun aku tak akan pernah mau dan mampu mengucapkan salam perpisahan padamu. Grace, aku tak mau berpisah darimu.

So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again
Oh babe, I hate to go

Sekali lagi bolehkah kudekap dirimu, sebagaimana A.J. Frost memeluk Grace Stamper dalam adegan di anjungan itu. Tapi kurasa pelukanku lebih erat, aku tak mau melepaskanya, dan memang seharusnya aku tak melepaskanmu.

Klakson dari taksi yang akan mengantarku kembali berbunyi, Oh babe, I hate to go, dan lantunan Chantal Kreviazuk kembali menggema dialam bawah sadar.

Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again

Sekarang siapa yang patut kusalahkan, apakah aku yang harus menjadi A.J. Frost ataukah pilihanmu yang bersikukuh untuk tetap menjadi Grace Stamper dan menolak pergi bersamaku? Mungkin aku harus mencari Robert Roy Pool dan Jonathan Hensleigh agar mereka mau menuliskan plot yang lebih untuk kita, akan kupaksa mereka jika memang harus begitu.

Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again
Oh baby, I hate to go

Jujur

Sumber Gambar
Lama-lama aku berpikir ada benarnya mengapa berbohong lebih sering dipilih sebagai jalan hidup daripada berlaku jujur, bertindak jujur dan mengaku secara jujur.

Kejujuran seseorang acapkali adalah upaya terakhir untuk berusaha menjadi bahagia, hidup dengan bahagia, tanpa kebohongan atau sandiwara. Menjadi jujur dan kemudian berbahagia sepenuhnya adalah pilihan dan tidak serta merta bisa berlaku begitu saja. Menyatakan kebenaran, kemudian mendapat tentangan, itupun sudah biasa. Bagiku menjadi jujur adalah caraku untuk berbahagia, jujur menjadi diri sendiri dan jujur untuk berpegang teguh pada apa yang hatiku percayai. Kali ini aku jujur, aku rindu kepada temanku.

Temanku, aku rindu ingin berbagi kisah pengantar tidur seperti biasa. Tentang menjadi jujur meski diriku tak seperti harapanmu. Taukah kamu temanku, ada seorang anak kecil didalam kelas yang riuh, yang menjawab pertanyaan gurunya dengan mengagumkan. Sang guru bertanya kepada teman-teman sebayanya “ingin jadi apa kalian kelak nantinya…?”, sudah barang tentu pilot dan dokter adalah jawaban paling favorit dalam kelas itu. Tapi seorang anak menjawab tanpa sedikitpun ragu “aku ingin menjadi orang yang berbahagia bu guru”. “Itu bukan cita-cita yang tepat nak, atau kamu memang tidak mengerti dengan apa yang aku tanyakan kepadamu…?” ibu guru itu penasaran dengan jawaban si anak di pojok kelas itu. “Ibu, apa artinya menjadi pilot atau dokter jika kelak hidupku tak berbahagia…? dan setidaknya aku memulai berbahagia dengan dengan berkata jujur saat ini tentang apa yang kuinginkan nanti”. Dan anak kecil dipojok kelas itu bernama John Lennon. Itu ceritaku untukmu, tetapi kamu pasti tak ingin lagi mendengar celotehku, karena setiap kalimatku adalah kesalahan yang pantas kau caci saat ini.

Aku masih ingat kala itu kamu terus mendesakku untuk berkata jujur karena kamu terus saja berucap kamu ingin tahu dari mulutku sendiri tentang kejujuran itu. Sebelumnya telah kuingatkan kepadamu, kejujuran dariku adalah bahagiaku, akan tetapi akan menjadi semacam empedu pahit dalam hidupmu. Siapkah kamu dengan itu…? Temanku…?.

Kamu berteriak, kamu mengumpat, kamu menghujat, dan aku tahu itu. Lalu, apakah kamu tetap mau untuk tetap berada disampingku…? Temanku…?. Kamu tidak menjawab waktu itu, kamu pergi begitu saja, aku paham, kamu tersentak saat itu. Mungkin akupun akan melakukan hal yang sama saat aku berada dalam situasi seperti itu, dalam posisimu. Kamu membenciku karena aku tak sesuai harapanmu kan temanku…?.

Aku masih beranggapan, sampai hari inipun kamu masih temanku, meski akhirnya engkau acuh dengan kejujuranku. Temanku, apa yang membuatmu kecewa begitu hebat…? Apakah aku yang tak sesuai harapanmu ataukah aku yang menolak untuk menjadi seperti apa yang kau inginkan…?.

Teman, aku ingin berbahagia, aku ingin membagi bahagiaku bersamamu karena itu aku memilih untuk jujur padamu. Umpatanmu dan sumpah serapahmu sesekali kurindu, galakmu rupa-rupanya menjadi candu, tapi kamu memilih pergi karena pilihanku. Sialnya, seharusnya aku tetap berbohong kepadamu, kiranya dengan begitu akan membuatmu tetap berada disampingku, seperti dulu. 
Powered by Blogger.

up