Kembali Asing, Semestinya

sumber gambar

"Sekali lagi aku bertanya, siapa yang lebih kausayangi dalam hidupmu, aku atau dia...?" tombol-tombol QWERTY dihape ini terasa lebih pejal dari biasanya. Amarahku berkecamuk, ini cemburu yang sudah sangat hebat meracuni fungsi normal otak besarku. Sejak hari itu aku tak lagi mampu membedakan masa depan, masa lalu dan kenyataan hari ini, semua lumpuh bahkan mimpi-mimpi besar hidupku pun kacau berantakan.

Adalah kamu, orang asing yang mencuri hampir seluruh jiwa sadarku. Keluh kesahmu saat itu mau tak mau menyeretku untuk mengesampingkan modus kepribadian egosentrisku. Sejak dulu, mana pernah aku peduli setan dengan keluh kesah dan cerita hidup orang lain, apalagi kamu, orang asing yang hanya singgah sementara dalam petualangan ini. Kamu asing, seasing orang-orang tak dikenal yang lalu lalang dalam klise dramatis mata pandangku.

Kamu orang asing itu, dan sekarang kembali asing dengan sikapmu yang tak pernah aku mampu untuk pahami. “Kamu aneh, sikapmu berubah semenjak kita tak lagi bersama, atau memang seperti inilah watak aslimu…?” pertanyaanku menjadi bomb cell yang meledak tiba-tiba setelah beberapa waktu penasaran dengan keadaanmu, sejatinya aku rindu, ingin sekedar tahu apakah dirimu baik-baik saja disana, jauh ditempatmu berada. 

“Maafkan aku sekali lagi jika sikapku ini membuatmu khawatir, tapi tolong pahamilah keadaanku saat ini, keadaan kita” ah setan, pandai benar kau berkilah dibalik permintaan maafmu itu. 

“Setidaknya yakinkan aku bahwa aku masih ada disitu, dihatimu. Tapi aku rasa kamu tidak benar-benar mengerti apa itu cinta, keadaan ini membuatku gila! Bagaimana jika kita sudahi saja kerumitan ini…?” terlepas juga akhirnya kalimat pamungkas itu, aku harus menyudahi kepahitan ini, secepat mungkin. “Mengapa harus secepat ini, aku masih belum mampu…kamu tahu kan siapa yang lebih aku sayangi, kamu, bukan dia” sergahmu.

“Kamu jahat jika meninggalkan aku saat ini, kamu adalah hati yang kupilih untuk jujur dan tulus kucintai” kilahmu masih saja berusaha mengikatku dalam ketidakpastian. 

“Lalu kenapa kamu nekat menikahinya…?, kamu memutuskan menikahinya, maka cintai dia, itu saja” rasa panas itu kembali menjalar hingga ke puncak pusar kepalaku, dan aku membencimu lebih dari siapapun saat itu.

“Tidak, aku meyayanginya tapi tetap saja rasa sayangku berbeda sejak aku bertemu denganmu”. 

“Kamu gila, berhentilah menyeretku dalam kegilaan ini…kemarin aku dan kamu adalah orang asing, apa susahnya mulai hari ini kita kembali jadi orang asing…? apa sulitnya…?” jika saja kumpulan aksara ini bisa bersuara, barangkali bentakan emosiku bisa membuatmu terhenyak berhenti untuk mengikatku.

“Andai saja waktu itu aku bertemu denganmu terlebih dahulu, keadaan tak akan jadi serumit ini, kamu adalah hati yang kupilih untuk kucintai, aku mau menua bersamamu…lebih dari sekedar cinta, aku menyayangimu” damn you my love!, sungutku atas kalimat terusanmu. Berapa kali harus kukatakan, aku semakin membencimu jika kamu senantiasa menyesali arus waktu, tak akan pernah bisa segala upaya untuk mengubah jalur waktu. Aku berhenti, aku membeku setiap kali kau paksa aku mengutuk waktu. Aku mencintaimu tapi aku tak pernah mampu untuk mengutuk waktu, aku dan kamu terikat dalam arusnya. Aku larut dan semakin larut, persis seperti malam yang semakin larut, tapi apakah malam pernah mau peduli bahwasanya aku sangat sesak mengingat semua rasa pilu ini…?. Andai saja aku dan kamu tetap asing seperti dulu, tentu kita tak akan pernah sesakit ini. Sepasang hati yang saling terasing, berpapasan barang sebentar dan kemudian kembali asing. 

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

up