Hujan, Kupu-kupu dan Pagi

Sumber Gambar
"Bukan, bukan kamu yang memulai, kita berdua yang salah" kataku sebelum kamu pergi di pagi ini.

Rintik hujan seolah membekukan waktu, saat itu pagi terakhir kita bersama sebelum kamu pergi. Entah kapan lagi kita akan bertemu, entah hujan yang datang terlalu pagi atau memang aku yang terlalu benci dengan situasi seperti ini.

Empat bulan yang lalu, kali pertama kita bertemu, saat itu senja begitu cerahnya, aku tahu ada sesuatu yang berbeda denganmu yang entah mengapa hatiku menangkap rasa seperti pendar indah matahari senja ibu kota. Kamu berbeda, aku berbeda, ah sudahlah kita sama memang, sama-sama berbeda dari yang lain.

"Aku suka denganmu, aku tak tahu bagaimana ini bisa terjadi, aku suka padamu...itu saja" katamu waktu itu. "Baiklah, aku juga sama, aku pikir hanya aku yang suka padamu, aku sempat berfikir untuk menyimpan saja kegilaan ini...akan lebih baik jika kamu tak tahu kalau sebenarnya aku juga suka padamu" jawabku, berkedok ego aku menutupi rasa girangku.

"Lalu sekarang bagaimana...?" aku masih kebingungan dengan apa yang harus kita lakukan setelah kita saling jujur saat itu. "Maukah kamu menjadi kekasihku...?" kalimatmu itu serasa bagai letupan lava pijar yang menjalarkan panas dan tremor seismik tak terduga. "Baiklah, kita coba...tapi aku belum pernah menjadi kekasih siapapun sebelumnya, aku pasti akan sangat kikuk dengan semua ini" masih mencoba tenang, suaraku hampir tercekat, mandeg dikerongkongan.

Itu empat bulan yang lalu, kupu-kupu memenuhi rongga perut hingga dadaku, semua terasa ringan dan melayang sempurna. Hari ini sedikit berbeda, mungkin ini kali terakhir kita bertemu dan kupu-kupu itu kembali beterbangan dalam rongga-rongga tubuhku. Kupu-kupu ini kenapa berubah di pagi yang riuh dengan rintik hujan ini? seolah sayap-sayap mereka adalah pisau dan sembilu, setiap kepakan menorehkan perih. Pagi ini, hujan dan kupu-kupu berkolaborasi sempurna menciptakan pedih yang mungkin akan kekal.

"Pergilah, suatu saat mungkin kita dapat bertemu" rintik hujan mengaburkan kalimatku. "Aku sedih harus berpisah, maukah engkau tetap menjadi kekasihku meski aku tak akan selalu ada disisimu...?" parau suaramu, aku tahu saat itu kamu juga berat hati untuk melangkahkan kaki. "Entahlah...aku tak tahu" dan hujan tak juga mau berhenti mencurahkan rintiknya.

"Maafkan aku...aku akan terus menyayangimu meski aku tahu ini semua akan berat bagi kita berdua, maafkan aku yang telah memulai semua ini" ucapanmu kali ini lebih berat dari sedih yang harus kutahan. Dan sekali lagi, aku punya alasan untuk membenci hujan yang datang terlalu pagi.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

up